TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
Makalah Kasus Minamata, Teluk Buyat, dan Munir |
|
Nama : Khaerun Nisa
Nim: PO713221141067 Kelas : 1-b
POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN TAHUN 2014 |
|
|
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Allah SWT. Karena penyusunan makalah tentang Kasus Minamata, Teluk Buyat, dan
Munir ini dapat diselesaikan meskipun dalam bentuk sederhana. Shalawat dan
salam juga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta junjungannya karena
keindahannya budi pekerti yang menjadi suri teladan kita.
Saya
menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum mencapai ekspektasi yang
diharapkan. Namun saya mengharapkan semoga makalah ini dapat berguna khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………..………1
Daftar Isi……………………………………………………………………...2
Daftar Isi……………………………………………………………………...2
Bab 1. Pendahuluan
ü Latar Belakang………..……………………………………….….……3
Bab 2. Pembahasan
ü Kasus Minamata …………………………………………………..…..5
·
Kesimpulan…………………………………………….…….….7
ü Kasus Teluk buyat…………………………………………….…….….7
·
Kesimpulan…………………………………………………......10
ü Kasus Munir…………………………………………………………...10
·
Kesimpulan……………………………………………………..11
Bab 3. Penutup
Ø Kesimpulan…………………………………………………………….12
Ø Saran……………………………………………………………………12
Daftar
Pustaka………………………………………………………...………13
BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan
Latar Belakang
Penyakit
minamata mendapat namanya dari kota Minamata, Prefektur Kumamoto di Jepang. Penyakit
minamata atau sindrom minamata adalah sindrom kelainan fungsi saraf yang di
sebabkan oleh keracunan akut air raksa. Penyakit ini mewabah mulai tahun 1958,
pada waktu itu terjadi masalah wabah penyakit di kota Mintamana Jepang. Ratusan
orang mati akibat penyakit yang aneh dengan gejala kelumpuhan syaraf. Gejala
sindrom ini seperti kesemutan pada kaki dan tangan, lemas-lemas, penyempitan
sudut pandang dan degradasi kemampuan berbicara dan pendengaran .
Hampir seluruh media massa nasional pada minggu ketiga dan keempat Juli 2004 menulis mengenai penderitaan warga Teluk Buyat. Nama Buyat mencuat setelah munculnya keluhan penyakit yang di duga Minamata yang di derita sejumlah warga Desa Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Penyakit minamata merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh cemaran merkuri di sebuah tempat bernama sama di Jepang.Peristiwa Teluk Buyat di akibatkan karena adanya cemaran merkuri yang di duga berasal dari operasi sebuah perusahaan tambang emas asing PT Newmont Minahasa Raya (NMR).
Hampir seluruh media massa nasional pada minggu ketiga dan keempat Juli 2004 menulis mengenai penderitaan warga Teluk Buyat. Nama Buyat mencuat setelah munculnya keluhan penyakit yang di duga Minamata yang di derita sejumlah warga Desa Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Penyakit minamata merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh cemaran merkuri di sebuah tempat bernama sama di Jepang.Peristiwa Teluk Buyat di akibatkan karena adanya cemaran merkuri yang di duga berasal dari operasi sebuah perusahaan tambang emas asing PT Newmont Minahasa Raya (NMR).
Kasus-kasus
pelanggaran HAM di Indonesia menurut pasal 1 Ayat 6 No. 39 Tahun 1999 yang
dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja ataupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi , menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
BAB II
Pembahasan
Pembahasan
1. Kasus Minamata
Pada tahun 1950, Jepang dihentak
sebuah kasus pencemaran merkuri. Kasus ini disebut tragedi Minamata atau
Minamata Disaster. Peristiwa Minamata didokumentasikan dengan baik oleh
Goldberg pada tahun 1974. Hasil dokumentasi itu menggambarkan akibat pembuangan
limbah industri yang mengandung methyl mercury ke laut pada tahun 1930-an di
Teluk Minimata.
Karena mengonsumsi ikan dan kerang
dari Teluk Minamata yang tercemar methyl mercury, ribuan penduduk dari dua
wilayah di pesisir Minamata, yaitu Provinsi Kumamoto dan Kagoshima, menjadi
korbannya. Minamata bukanlah penyakit menular atau menurun secara genetis.
Penyakit ini kali pertama ditemukan di Kota Kumamoto pada tahun 1956. Dan pada
1968, pemerintah Jepang menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh
pencemaran pabrik Chisso Co., Ltd.
Methyl mercury yang masuk tubuh
manusia akan menyerang sistem saraf pusat. Gejala awal antara lain kaki dan
tangan menjadi gemetar dan lemah, kelelahan, telinga berdengung, kemampuan
penglihatan melemah, kehilangan pendengaran, bicara cadel, serta gerakan
menjadi tidak terkendali. Beberapa penderita berat penyakit Minamata menjadi
gila, tidak sadarkan diri, dan meninggal setelah sebulan menderita penyakit
ini.
Penyakit Minamata tidak dapat
diobati, sehingga perawatan bagi penderita hanya untuk mengurangi gejala dan
terapi rehabilitasi fisik. Di samping dampak kerusakan fisik, penderita
Minamata juga mengalami diskriminasi sosial dari masyarakat. Seperti
dikucilkan, dilarang pergi ke tempat umum, dan sukar mendapatkan pasangan
hidup.
Methyl mercury dan uap merkuri logam
lebih berbahaya dari bentuk-bentuk merkuri yang lain, sebab merkuri dalam kedua
bentuk tersebut dapat lebih banyak mencapai otak. Pemaparan kadar tinggi
merkuri, baik yang berbentuk logam, garam, maupun methyl mercury dapat merusak
secara permanen otak, ginjal, maupun janin.
Penyakit ini sebenarnya tidak hanya
terjadi di Minamata. Tahun 1965, penyakit Minamata menyerang warga yang tinggal
di sepanjang Sungai Agano di Kota Niigata akibat pembuangan limbah merkuri oleh
Showa Denko. Penyakit ini dikhabarkan juga terjadi di Tiongkok dan Kanada.
Sungai dan danau di Amazon dan Tanzania juga tercemar merkuri serta menimbulkan
masalah kesehatan yang mengkhawatirkan.
Kini, masyarakat Minamata sangat
menghargai apa yang terjadi di waktu silam dan mengambil pelajaran dari kasus
limbah merkuri tersebut. Mereka lebih peduli akan lingkungan dan berjibaku
bersama menjaga lingkungan sekitar. Seperti menjaga kebersihan dan pengelolaan
sampah kota dengan manajemen yang baik, yaitu pemilahan sampah dan
memanfaatkannya lebih lanjut seperti pengomposan.
Lalu lumpur di Teluk Minamata yang
mengandung merkuri di atas 25 ppm dipulihkan dengan mengeruk sebagian lumpur
dan mereklamasinya. Kegiatan ini menghabiskan 48,5 miliar yen selama lebih dari
14 tahun. Kualitas air di Teluk Minamata saat ini menjadi air yang paling
bersih dan jernih di Kumamoto dan masyarakat tidak takut lagi untuk berenang
dan bermain di sana.
Data menyeluruh tentang laut
Minamata seperti kerusakan lingkungan yang sangat luas dan kesehatan penduduk
setempat perlu disampaikan ke seluruh dunia agar dapat belajar dari kasus
Minamata. Semoga
kita bisa meniru cara masyarakat Jepang yang mau belajar dari pengalaman masa
lalu.
Tahun 1959 merupakan tahun yang
penting, baik bagi para penderita penyakit Minamata maupun terhadap riwayat
penelitian dari penyakit tersebut. Merkuri, yang telah dicurigai sebagai
penyebab sejak sekitar September 1958, mengundang lebih banyak perhatian lagi.
Tanggal 19 Februari 1959, Tim Survei penyakit minamata/keracunan makanan dari
kementrian mengumumkan pentingnya penelitian terhadap distribusi merkuri pada
teluk minamata.
Ø Kesimpulan : Di awal tahun 50-an
Teluk Minamata tercemar oleh limbah logam berat Mercury yang berasal dari
pabrik Chiso di kota Minamata provinsi Kumamoto, Jepang. Limbah mercury
mencemari teluk minamata, sehingga ikan dan kerang-kerangan tercemar logam
berat.
2. Kasus Teluk Buyat
Too little and too late: itulah
ungkapan yang tepat untuk melukiskan langkah pemerintah dalam tragedi Buyat.
Perhatian pemerintah baru tumbuh justru setelah sejumlah warga dan biota di
kawasan teluk itu telanjur menjadi korban dari wabah penyakit. Padahal,
jauh-jauh hari sebelum kasus ini meledak, potensi dan bahaya pencemaran ekologi
di wilayah itu sebenarnya telah diekspos dan disuarakan oleh sejumlah
LSM.
Kegigihan warga dan korban Teluk Buyat dalam mengejar keadilan telah mengungkap penyakit kronis penegakan hukum di sektor lingkungan. Ia, lebih jauh, lalu memaksa kita merasakan adanya semacam situasi darurat, yakni minimnya perhatian dan usaha dari pengelola kekuasaan negara dalam melindungi hak-hak warga atas lingkungan hidupnya. Situasi darurat itu jadi demikian terasa, bila diingat, sebelum tragedi Buyat sebenarnya kasus-kasus pencemaran dan perusakan ekologi serupa sudah berkali-kali terjadi. Proses self destruction terhadap bumi dan bangsa ini tak boleh terus dibiarkan.
Pemerintah, sebagai pengelola langsung kekuasaan negara, berkewajiban menjaga dan melindungi lingkungan hidup bagi warga negaranya. Dalam urusan itu, sudah waktunya pemerintah mengupayakan kebijakan-kebijakan yang tidak cuma memberi peluang bagi kalangan korporasi, tapi juga mendorong mereka untuk memenuhi kewajiban sosial mereka terhadap masyarakat dan lingkungan di mana mereka beroperasi.
Pelajaran penting dari tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan pemerintah terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia.
Pemerintah harus bertanggung jawab
Kembali ke kasus Buyat: siapakah yang lalu harus bertanggung jawab dalam tragedi ini? Saya kira, pertanggungjawaban dapat dilihat dalam dua tingkat. Sebuah penelitian yang independen dan sungguh-sungguh sangat diperlukan untuk memeriksa duduk perkara dari pencemaran ekologi yang mengakibatkan wabah penyakit ini. Perusahaan yang dituduh harus membuka dirinya pada upaya penelitian ini untuk menentukan tingkat pertanggungjawaban yang bisa dimintakan kepada mereka. Pada tingkat pertanggungjawaban ini, korban bisa secara langsung menggugat perusahaan. Namun, dari perspektif hak-hak asasi manusia, sebenarnya pemerintahlah yang memiliki beban pertanggungjawaban paling tinggi.
Kenapa? Jawabannya: karena berdasarkan hukum internasional hak-hak asasi manusia, negara adalah pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia dari setiap warganya. Kendati benar bahwa tragedi Buyat telah memberi kita perspektif mengenai “non-state actors” sebagai pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia, namun sebetulnya ultimate responsibility dalam kasus ini tetap berada di tangan negara. Alasannya jelas: karena tidak ada korporasi mana pun bisa beroperasi di suatu negeri tanpa mendapat izin dari pemerintah. Sekali izin dikeluarkan, maka adalah imperatif bagi setiap pemerintah untuk memastikan bahwa korporasi dijalankan dengan kesesuaian dan kepatuhan terhadap standar-standar hak-hak asasi manusia internasional, termasuk ke dalamnya hak terhadap lingkungan yang sehat.
Kita ingin mendengar dari pemerintah, apa sebabnya tragedi ini bisa terjadi? Apakah pemerintah telah secara konsisten dan reguler melakukan kontrol terhadap praktik-praktik korporasi yang operasinya bisa berisiko pencemaran ekologi? Apakah pemerintah telah mengambil seluruh tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap korporasi memiliki langkah-langkah pencegahan kerusakan lingkungan dalam operasinya? Tanggung jawab pemerintah yang pertama adalah melakukan sebuah penelitian yang jujur dan terbuka untuk memastikan bahwa kesalahan dapat dikenali dan diperbaiki.
Yang sangat penting juga: apakah pemerintah telah memiliki kebijakan terhadap para korban tragedi Buyat yang hak-haknya telah dilanggar? Sungguh tidak pantas bila pemerintah mengecil-ngecilkan kasus ini di saat para korban harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya terpaksa berubah dan tak bisa sama lagi seperti sebelumnya akibat tragedi pencemaran ekologi ini. Tanggung jawab kedua pemerintah adalah memastikan bahwa setiap keluhan korban didengar dan menjadi salah satu dasar bagi penyusunan kebijakan untuk menyantuni mereka.
Harus diingat bahwa tindakan pelanggaran hak-hak asasi manusia dilakukan dalam dua bentuk: act of commission dan act of omission. Apabila dapat dibuktikan bahwa sikap lalai pemerintah memiliki kontribusi pada terjadinya tragedi Buyat, maka pemerintah secara kategoris dapat dituduh telah melakukan pelanggaran. Maka warga dan korban Teluk Buyat juga sebenarnya bisa menggugat pemerintah.
Akhirnya, banyak pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan untuk menuntut pertanggungjawaban. Namun, tidak kurang pentingnya untuk pada saat bersamaan juga mempertanyakan kepada pemerintah apa kebijakan mereka untuk mencegah hal yang sama berulang di masa datang?
Dari tragedi Buyat kita sebenarnya bisa belajar: bila pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan untuk mendorong setiap korporasi memenuhi standar hak-hak asasi manusia internasional, maka kasus-kasus pencemaran ekologi lainnya sedang menunggu giliran meledak. Dari tragedi Buyat ini, kita harus merenungkan dan meninjau kembali, sikap dan tindakan kita terhadap kebijakan yang pernah diambil.
Kegigihan warga dan korban Teluk Buyat dalam mengejar keadilan telah mengungkap penyakit kronis penegakan hukum di sektor lingkungan. Ia, lebih jauh, lalu memaksa kita merasakan adanya semacam situasi darurat, yakni minimnya perhatian dan usaha dari pengelola kekuasaan negara dalam melindungi hak-hak warga atas lingkungan hidupnya. Situasi darurat itu jadi demikian terasa, bila diingat, sebelum tragedi Buyat sebenarnya kasus-kasus pencemaran dan perusakan ekologi serupa sudah berkali-kali terjadi. Proses self destruction terhadap bumi dan bangsa ini tak boleh terus dibiarkan.
Pemerintah, sebagai pengelola langsung kekuasaan negara, berkewajiban menjaga dan melindungi lingkungan hidup bagi warga negaranya. Dalam urusan itu, sudah waktunya pemerintah mengupayakan kebijakan-kebijakan yang tidak cuma memberi peluang bagi kalangan korporasi, tapi juga mendorong mereka untuk memenuhi kewajiban sosial mereka terhadap masyarakat dan lingkungan di mana mereka beroperasi.
Pelajaran penting dari tragedi teluk Buyat adalah betapa mendesaknya perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari sikap kebijakan pemerintah terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia.
Pemerintah harus bertanggung jawab
Kembali ke kasus Buyat: siapakah yang lalu harus bertanggung jawab dalam tragedi ini? Saya kira, pertanggungjawaban dapat dilihat dalam dua tingkat. Sebuah penelitian yang independen dan sungguh-sungguh sangat diperlukan untuk memeriksa duduk perkara dari pencemaran ekologi yang mengakibatkan wabah penyakit ini. Perusahaan yang dituduh harus membuka dirinya pada upaya penelitian ini untuk menentukan tingkat pertanggungjawaban yang bisa dimintakan kepada mereka. Pada tingkat pertanggungjawaban ini, korban bisa secara langsung menggugat perusahaan. Namun, dari perspektif hak-hak asasi manusia, sebenarnya pemerintahlah yang memiliki beban pertanggungjawaban paling tinggi.
Kenapa? Jawabannya: karena berdasarkan hukum internasional hak-hak asasi manusia, negara adalah pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia dari setiap warganya. Kendati benar bahwa tragedi Buyat telah memberi kita perspektif mengenai “non-state actors” sebagai pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia, namun sebetulnya ultimate responsibility dalam kasus ini tetap berada di tangan negara. Alasannya jelas: karena tidak ada korporasi mana pun bisa beroperasi di suatu negeri tanpa mendapat izin dari pemerintah. Sekali izin dikeluarkan, maka adalah imperatif bagi setiap pemerintah untuk memastikan bahwa korporasi dijalankan dengan kesesuaian dan kepatuhan terhadap standar-standar hak-hak asasi manusia internasional, termasuk ke dalamnya hak terhadap lingkungan yang sehat.
Kita ingin mendengar dari pemerintah, apa sebabnya tragedi ini bisa terjadi? Apakah pemerintah telah secara konsisten dan reguler melakukan kontrol terhadap praktik-praktik korporasi yang operasinya bisa berisiko pencemaran ekologi? Apakah pemerintah telah mengambil seluruh tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa setiap korporasi memiliki langkah-langkah pencegahan kerusakan lingkungan dalam operasinya? Tanggung jawab pemerintah yang pertama adalah melakukan sebuah penelitian yang jujur dan terbuka untuk memastikan bahwa kesalahan dapat dikenali dan diperbaiki.
Yang sangat penting juga: apakah pemerintah telah memiliki kebijakan terhadap para korban tragedi Buyat yang hak-haknya telah dilanggar? Sungguh tidak pantas bila pemerintah mengecil-ngecilkan kasus ini di saat para korban harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya terpaksa berubah dan tak bisa sama lagi seperti sebelumnya akibat tragedi pencemaran ekologi ini. Tanggung jawab kedua pemerintah adalah memastikan bahwa setiap keluhan korban didengar dan menjadi salah satu dasar bagi penyusunan kebijakan untuk menyantuni mereka.
Harus diingat bahwa tindakan pelanggaran hak-hak asasi manusia dilakukan dalam dua bentuk: act of commission dan act of omission. Apabila dapat dibuktikan bahwa sikap lalai pemerintah memiliki kontribusi pada terjadinya tragedi Buyat, maka pemerintah secara kategoris dapat dituduh telah melakukan pelanggaran. Maka warga dan korban Teluk Buyat juga sebenarnya bisa menggugat pemerintah.
Akhirnya, banyak pertanyaan-pertanyaan lain bisa diajukan untuk menuntut pertanggungjawaban. Namun, tidak kurang pentingnya untuk pada saat bersamaan juga mempertanyakan kepada pemerintah apa kebijakan mereka untuk mencegah hal yang sama berulang di masa datang?
Dari tragedi Buyat kita sebenarnya bisa belajar: bila pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan untuk mendorong setiap korporasi memenuhi standar hak-hak asasi manusia internasional, maka kasus-kasus pencemaran ekologi lainnya sedang menunggu giliran meledak. Dari tragedi Buyat ini, kita harus merenungkan dan meninjau kembali, sikap dan tindakan kita terhadap kebijakan yang pernah diambil.
Ø Kesimpulan : Tragedi teluk Buyat
adalah betapa mendesaknya perlindungan hak-hak asasi manusia jadi bagian dari
sikap kebijakan pemerintah terhadap korporasi-korporasi yang beroperasi di
Indonesia.
3. Kasus Munir
Kasus
pembunuhan Munir merupakan salah satu pelanggaran HAM di Indonesia yang
kasusnya belum terselesaikan hingga akhirnya tutup. Munir Said Thalib bukan
sembarang orang, dia adalah seorang aktivis HAM yang pernah menangani
kasus-kasus pelanggaran HAM. Ia meninggal pada tanggal 7 September 2004 di
dalam pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju kota Amsterdam di
Belanda. Banyak yang menganggap bahwa Munir meninggal karena di bunuh atau
diracuni oleh suatu kelompok tertentu. Sayangnya hingga kini kasus kematian
Munir ini belum jelas dan kasusnya sendiri akhirnya di tutup.
Ø Kesimpulan : Kasus Munir adalah
kasus pelanggaran HAM yang berat karena Munir yang hanya mengemukakan
pendapatnya atas kesalahan pemerintah sampai harus diculik oleh pihak yang
seharusnya melindungi warga negara.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Pada
kasus minamata di sebabkan oleh sebuah perusahaan industry yang membuang
limbahnya ke laut minamata. Bila pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan
untuk mendorong setiap korporasi memenuhi standar hak-hak asasi manusia
internasional, maka kasus-kasus pencemaran ekologi lainnya sedang menunggu
giliran meledak. Dari tragedi Buyat ini, kita harus merenungkan dan meninjau
kembali, sikap dan tindakan kita terhadap kebijakan yang pernah diambil.
B. Saran
Dalam kasus-kasus ini dapat membuka mata kita agar berusaha menjaga dan memperbaiki lingkungan kita dengan usaha yang keras. Sebagai pemerintah tidak seharusnya hanya memandang sebuah masalah dari segi ekonomi tanpa memikirkan rakyatnya. Jika kasus ini cepat di tindak lanjuti dengan tegas kemungkinan bisa mengurangi jumlah korban dan kerusakan yang terjadi.
Dalam kasus-kasus ini dapat membuka mata kita agar berusaha menjaga dan memperbaiki lingkungan kita dengan usaha yang keras. Sebagai pemerintah tidak seharusnya hanya memandang sebuah masalah dari segi ekonomi tanpa memikirkan rakyatnya. Jika kasus ini cepat di tindak lanjuti dengan tegas kemungkinan bisa mengurangi jumlah korban dan kerusakan yang terjadi.
Daftar Pustaka
1 komentar so far
Spades v1,999.0 | TITanium Art | Titanium Art & Design
Custom and Custom 3D Models & Design Ideas for the Ace of Spades® at TITanium Art 4x8 sheet metal prices near me & titanium pans Design - Find your titanium sheet inspiration for titanium ring a new titanium nitride design today.
EmoticonEmoticon